- BATASAN TEORI TUJUAN HUKUM
Hukum
adalah alat, bukan tujuan. Dan yang mempunyai tujuan adalah manusia.
Akan tetapi karena manusia sebagai anggota masyarakat tidak mungkin
dapat dipisahkan dengan hukum, maka yang dimaksud dengan tujuan hukum
adalah manusia dengan hukum sebagai alat untuk mencapai tujuan hukum
itu.
Keberadaan
hukum dalam masyarakat, sebenarnya tidak hanya dapat diartikan
sebagai sarana mentertibkan kehidupan masyarakat, melainkan juga
dijadikan sarana yang mampu mengubah pola pikir dan pola perilaku
masyarakat. Dan pembuatan hukum seyogyanya mampu mengeliminasi setiap
konflik yang diperkirakan akan terjadi di masyarakat.
Mengenai
tujuan hukum, adapun
tujuan pokok hukum adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib,
menciptakan ketertiban, dan keseimbangan. Dalam mencapai tujuannya
itu, hukum bertugas membagi hak dan kewajiban antarperorangan di
dalam masyarakat, membagi wewenang dan mengatur cara memecahkan
masalah hukum serta memelihara kepastian hukum.
Menurut
beberapa literatur, terdapat beberapa teori tentang tujuan hukum.Dari
banyaknya teori yang ada, namun yang paling sering disebutkan
hanyalah teori etis, teori utilitas dan teori lainnya yang merupakan
kombinasi dari kedua teori tersebut (teori campuran).
- TEORI ETIS
Terdapat
suatu teori yang mengajarkan bahwa hukuman itu semata-mata
menghendaki keadilan. Teori yang mengajarkan hal tersebut dinamakan
teori etis, karena menurut teori tersebut, isi hukum semata-mata
harus ditentukan oleh kesadaran atau keyakinan yang etis mengenai apa
yang adil dan apa yang tidak adil.
Pendapat ini juga didukung oleh beberapa ilmuan hukum, salah satunya
adalah Geny dan Aritoteles.
Geny
mengajarkan di dalam Science
et Technique en Droit Prive Positif,
bahwa hukum bertujuan semata-mata untuk mencapai keadilan.
Dan Aritoteles dalam karyanyaRhetorica,
bahwasanya
tujuan hukum adalah untuk menegakkan keadilan.
Aritoteles
kemudian membagi keadilan ke dalam dua jenis keadilan, yaitu keadilan
distributif dan keadilan komutatif:
- Keadilan distributif adalah keadilan yang memberikan kepada setiap orang jatah menurut jasanya. Artinya, keadilan ini tidak menuntut supaya setiap orang mendapat bagian yang sama banyaknya atau bukan persamaannya, melainkan kesebandingan berdasarkan prestasi dan jasa seseorang. Yang dinilai adil disini ialah apabila setiap orang mendapatkan hak atau jatahnya secara proporsional mengingat akan pendidikan, kedudukan, kemampuan dan sebagainya.
- Keadilan komutatif adalah keadilan yang memberikan kepada setiap orang sama banyaknya, tanpa mengingat jasa-jasa perseorangan. Artinya, hukum menuntut adanya suatu persamaan dalam memperoleh prestasi atau sesuatu hal tanpa memperhitungkan jasa perseorangan. Dalam keadilan ini yang dituntut adalah keasamaan (mutlak). Dapa dikatakan adil apabila setiap orang diperlakukan sama tanpa memandang kedudukan dan sebagainya.
Hukum
tidaklah identik dengan keadilan. Peraturan hukum tidaklah selalu
mewujudkan keadilan. Pada umumnya keadilan merupakan penilaian yang
hanya dilihat dari pihak yang menerima perlakuan saja. Misalnya, para
yustisiabel (pada umummnya pihak yang dikalahkan dalam perkara
perdata) menilai putusan hakim tidak adil. Hal tersebut adalah
penilaian tentang keadilan yang hanya ditinjau dari satu pihak saja,
yaitu pihak yang menerima perlakuan. Padahal pihak yang melakukan
tindakan atau kebijaksanaanya juga mengharapkan kepastian hukum. Jadi
dapat dikatakan bahwasanya keadilan kiranya tidak harus hanya dilihat
dari satu pihak saja, tetapi harus dilihat dari dua pihak.
Teori
etis tersebut kemudian dipatahkan oleh L. J. Van Apeldoorn, karena
menurutnya teori etis ini dianggap berat sebelah dan terlalu
mengagung-agungkan keadilan yang pada akhirnya tidak mampu membuat
peraturan umum. Sedangkan peraturan umum adalah sarana untuk
kepastian dan tertib hukum (mengikat).Hukum menetapkan
peraturan-peraturan umum yang menjadi petunjuk untuk orang-orang
dalam pergaulan masyarakat. Dari sinilah timbul kesenjangan antara
tuntutan keadilan dan tuntutan kepastian hukum.Semakin tajam suatu
peraturan hukum, maka semakin terdesaklah keadilan. “Summun
ius, summa iniuria”, keadilan tertinggi dapat berarti ketidakadilan
tertinggi.
Sudah menjadi
sifat pembawaan hukum bahwa hukum itu menciptakan peraturan-peraturan
yang mengikat setiap orang dan oleh karenanya bersifat umum. Hal ini
dapat kita lihat dalam ketentuan-ketantuan yang pada umumnya
berbunyi, “Barang
siapa...”,
ini berarti bahwa hukum itu bersifat menyamaratakan. Semua orang
dianggap sama. Suatu tata hukum tanpa peraturan umum yang mengikat
setiap orang, maka tidak mungkin ada. Tidak adanya peraturan umum
berarti tidak ada kepastian hukum. Kalau hukum menghendaki
penyamarataan, tidak demikian dengan keadilan. Keadilan menuntut
supaya setiap perkara harus ditimbang tersendiri. Dan untuk memenuhi
keadilan, peristiwanya harus dilihat secara kasuistis (berdasarkan
hati nurani/ kata hati).
- TEORI UTILITAS
Aliran
utilitas menganggap, bahwa pada asasnya tujuan hukum adalah
semata-mata untuk menciptakan kemanfaatan atau kebahagiaan warga
masyarakat9.
Di dalam bukunya yang berjudul “Intoduction
to The Principles of Morals and Legislation (1780)”,
Jeremy Betham, seorang pakar hukum Inggris menegaskan bahwa tujuan
hukum adalah sedapat mungkin mendatangkan kebahagiaan yang
sebesar-besarnya terhadap jumlah orang yang banyak atau yang terkenal
dengan “the
greatest good of the greatest number”.
Selain Jeremy Betham, aliran ini juga didukung oleh James Mill, John
Stuart Mill, dan Soebekti.
Soebekti
menyatakan, bahwa tujuan hukum itu mengabdi kepada tujuan negara,
yaitu mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan rakyatnya. Artinya,
tujuan hukum hendaknya memberikan manfaat
(nilai guna)
yang sebesar-besarnya kepada warga masyarakat. Dalam teori ini, hukum
dipandang semata-mata hanya untuk memberikan kebahagiaan bagi warga
masyarakat dan pelaksanaan hukum tetap mengacu pada manfaat bagi
warga masyarakat10.
Hukum
baru dikatakan berhasil guna
atau bermanfaat
apabila sebanyak mungkin dapat mewujudkan keadilan. Mengeluarkan
keadilan dari lingkungan hukum, maka muncul asumsi bahwasanya hukum
identik dengan kekuasaan. Hal tersebut tentu kurang tepat, sebab
hukum dan kekuasaan saling membutuhkan. Seperti pandangan Mochtar
Kusumaatmadja
bahwa, “hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa
hukum adalah kedzaliman.
Dan
kebahagiaan atau manfaat bagi orang satu belum tentu sama menurut
orang yang lain. Maka, teori
utilitas pun dianggap sebagai
teori yang berat sebelah, sebab teori ini pun dianggap bersifat
subjektif, relatif dan individual.
- TEORI CAMPURAN
Atas
kelemahan kedua teori diatas yaitu teori etis dan teori utilitas,
muncullah teori gabungan yaitu teori yang mengkombinasikan kedua
teori tujuan hukum yang terdahulu.
Teori gabungan ini dianut oleh beberapa pakar hukum diantaranya yaitu
L.J. van Apeldoorn,
van Kan dan Bellefroid
Prof.
Van Kan di dalam
buku Inleiding Tot
de Rechtwetenschap
menguraikan tentang tujuan hukum yang kesimpulannya bahwa hukum
mempunyai tugas untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam
masyarakat. Selain itu dapat pula disebutkan bahwa hukum menjaga dan
mencegah agar setiap orang tidak menjadi hakim atas dirinya sendiri
(eigenrichting is
vorbiden), tidak
mengadili dan menjatuhkan hukuman terhadap setiap pelanggaran hukum
terhadap dirinya, namun tiap perkara, harus diselesaikan melalui
proses pengadilan dengan perantaraan hakim berdasarkan ketentuan
hukum yang berlaku.
Pendapat
L.J. van Apeldoorn
dalam bukunya Inleiding
tot de Studie van het Nederlandsche Recht
menegaskan bahwa tujuan hukum adalah pengaturan kehidupan masyarkat
secara adil dan damai dengan mengadakan keseimbangan antara
kepentingan-kepentingan yang dilindungi sehingga tiap-tiap orang
mendapat apa yang menjadi haknya masing-masing sebagaimana mestinya.
Perdamaian
di antara masyarakat dipertahankan oleh hukum dengan melindungi
kepentingan-kepentingan hukum manusia tertentu, kehormatan,
kemerdekaan, jiwa dan harta benda dari pihak yang merugikan.
Kepentingan perseorangan seringkali bertentangan dengan kepentingan
golongan manusia. Pertentangan tersebut dapat menjadi pertikaian
seandainya hukum tidak berperan sebagai perantara untuk
mempertahankan kedamaian.
Dalam
sebuah literatur mengatakan, pada dasarnya tujuan hukum adalah untuk
mengayomi manusia baik secara aktif maupun secara pasif. Secara aktif
dimaksudkan sebagai upaya untuk menciptakan suatu kondisi
kemasyarakatan yang manusiawi dalam proses yang berlangsung secara
wajar. Sedangkan yang dimaksud secara pasif, adalah mengupayakan
pencegahan atas tindakan yang sewenang-wenang dan penyalahgunaan hak.
Usaha
mewujudkan pengayoman tersebut termasuk didalamnya adalah :
- Mewujudkan ketertiban dan keteraturan.
- Mewujudkan kedamaian sejati.
- Mewujudkan keadilan.
- Mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial.